Masjiddan makam di mana Salman al-Farisi bersemayam di Madain secara historis milik Sunni. beberapa waktu, Abu al-Darda' bangun lagi, tapi Salman kembali mengajaknya tidur. Ketika jam malam hampir berakhir, Salman mengajak Abu al-Darda' bangun dan keduanya pun shalat malam. Salman berkata kepada Abu al-Darda': Kisah Baluqiya Sang

Kisah ini menceritakan tentang kegigihan seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al-Farisi, dimana banyak pelajaran yang mampu kita petik, kisah ini berawal Salman menceritakan kisahnya kepada sahabat Nabi yang bernama Ibnu Abbas, yang kemudian diceritakan kepada sahabat lainnya, Ibnu Abbas berkata Salman berkata, “Aku seorang dari bangsa Persia yang berasal dari Isfahaan dari sebuah desa yang dikenal dengan nama Jayyun. Ayahku adalah kepala desa. Baginya, aku adalah mahluk Allah yang paling dicintainya. Cintanya kepadaku sampai pada batas dimana dia mempercayaiku untuk mengawasi api yang dia nyalakan. Dia tidak akan membiarkannya mati.” Dalam kisah ini salman menunjukkan sikap yang baik terhadap orang tuanya, dan beliau juga menyebutkan nama Tuhan yang benar yaitu Allah, nama Allah memang dari dulu sudah disebutkan dari lisan para Nabi dan Rasul, mengingatkan jumlah mereka yang pastinya mempengaruhi banyak wilayah tentang penyebutan nama Allah, contoh saja orang Ibrani menyebutnya dengan Elloh/Allah, Nabi Isa menyebut dengan nama Elah, lalu dilanjutkan kisah salman. “Ayahku memiliki areal tanah subur yang luas. Suatu hari, ketika dia sibuk dengan pekerjaannya, dia menyuruhku untuk pergi ke tanah itu dan memenuhi beberapa tugas yang dia inginkan. Dalam perjalanan ke tanah tersebut, saya melewati gereja Nasrani. Saya mendengarkan suara orang-orang shalat di dalamnya. Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang di luar hidup, karena ayahku membatasiku di dalam rumahnya! Maka ketika saya melewati orang-orang itu di gereja dan mendengarkan suara mereka, saya masuk ke dalam untuk melihat apa yang mereka lakukan.“Ketika saya melihat mereka, saya menyukai shalat mereka dan menjadi tertarik terhadapnya yakni agama. Saya berkata kepada diriku, Sungguh, agama ini lebih baik daripada agama kami’’. Dari sini kita memahami bahwa salman memiliki sifat tidak taklid buta, beliau lebih mengutamakan kebenaran serta berfikiran terbuka. “Saya tidak meninggalkan mereka sampai matahari terbenam. Saya tidak pergi ke tanah ayahku, “Saya bertanya yakni kepada orang-orang di gereja, Darimana asal agama ini? Mereka menjawab Dari Syam. Kemudian saya kembali kepada Ayahku yang sedang khawatir dan mengirim seseorang untuk mencariku. Ketika saya tiba dia bertanya. “Wahai anakku! Dari mana engkau? Bukankah aku mempercayakanmu untuk sebuah tugas?” Saya berkata, “Wahai ayah, saya melewati orang-orang yang sedang shalat dalam gereja mereka dan saya menyukai agama mereka. Saya tinggal bersama mereka sampai matahari terbenam.’’ Salman merenungkan tentang agama dari syam sekarang Syiria, yordania, palestina dan lebanon yang baru saja beliau lihat, mereka orang Nasrani sedang shalat menghadap baitul maqdis, dalam denominasi kristen memang ada yang masih shalat yaitu kristen orthodox, mereka menyebutnya shelota, hanya saja berbeda waktu dengan islam, mereka shalat 7 waktu, dan masih juga orang kristen yang masih menyembah Allah, yaitu ebionite dan penerus sekte Arianisme, hal inilah yang membuat salman tertarik dengan agama Nasrani, sikap seperti ini yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu selalu berfikir kritis serta terbuka walaupun memiliki sanak keluarga yang memiliki background yang sama. “Ayahku berkata, Wahai anakku! Tidak ada kebaikan pada agama itu, agamamu dan agama ayahmu dan agama nenek moyangmu lebih baik.’’ Pada momen tersebut salman ditentang oleh bapaknya, disini kita diingatkan tentang taklid buta dalam perkara keimanan, Allah berfirman وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهٰذَا الْقُرْءَانِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ “Dan orang-orang yang kafir berkata, Janganlah kamu mendengarkan bacaan Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya agar kamu dapat mengalahkan mereka.” QS. Fussilat 41 Ayat 26 بَلْ قَالُوٓا إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلٰىٓ أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلٰىٓ ءَاثٰرِهِمْ مُّهْتَدُونَ “Bahkan mereka berkata, Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.” QS. Az-Zukhruf 43 Ayat 22 وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُۥٓ ۚ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوٓا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ الصُّدُورِ “Dan barang siapa kafir maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu Muhammad. Hanya kepada Kami tempat kembali mereka, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” QS. Luqman 31 Ayat 23 مَّا سَمِعْنَا بِهٰذَا فِىٓ ءَابَآئِنَا الْأَوَّلِينَ “Belum pernah kami mendengar seruan yang seperti ini pada masa nenek moyang kami dahulu.” QS. Al-Mu’minun 23 Ayat 24 lalu dilanjutkan, “Saya berkata, Tidak, demi Allah, ini lebih baik dari agama kita, Salman berkata, “Dia mengancamku, merantai kedua kakiku dan memenjarakanku di rumahnya, Ia berkata, “Saya mengirimkan pesan kepada kaum Nasrani tersebut meminta mereka memberi kabar akan kedatangan para pedaganng Nasrani dari Syam. Rombongan pedagang tiba dan mereka mengabariku, maka kukatakan kepada orang-orang Nasrani tersebut untuk memberi tahu kapan rombongan pedagang itu menyelesaikan urusannya dan bergerak kembali ke negrinya. Lalu saya dikabari oleh mereka ketika orang-orang Syam telah menyelesaikan perdagangan mereka dan bersiap-siap untuk kembali ke negrinya, maka saya lepaskan rantai dari kakiku dan mengikuti rombongan itu sampai tiba di Syam.” Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan Salman berkata, “Ketika para pedagang Nasrani hendak kembali ke negerinya, orang-orang Nasrani memberiku informasi tentang mereka. Kemudian aku buang rantai dari kakiku dan pergi bersama mereka hingga tiba di Syam. Setelah tiba di Syam, aku bertanya, Siapakah pemeluk agama ini yang paling banyak ilmunya?’ Mereka menjawab, Uskup di gereja.’ Kemudian aku datang kepada uskup tersebut dan berkata kepadanya, Aku amat tertarik kapada agama ini. Jadi aku ingin sekali bisa bersamamu, dan melayanimu di gerejamu agar bisa belajar darimu dan shalat bersamamu.’ Uskup berkata, Masuklah!’ Aku pun masuk kepadanya, namun uskup tersebut orang jahat. la suruh pengikutnya bersedekah. Tapi ketika mereka telah mengumpulkannya, ia simpan untuk dirinya dan tidak memberikannya kepada orang-orang miskin, hingga ia berhasil mengumpulkan tujuh tempayan penuh berisi emas dan perak. Aku sangat marah kepadanya atas tindakannya tersebut. Tidak lama kemudian uskup tersebut meninggal dunia. Orang-orang Nasrani berkumpul untuk menguburnya, namun aku katakan kepada mereka, Sungguh, orang ini jahat. Ia suruh kalian bersedekah, namun jika kalian memberikan sedekah kepadanya, ia menyimpannya untuk dirinya sendiri dan tidak membagikannya sepeser pun kepada orang-orang miskin.’ Mereka berkata, Dari mana engkau mengetahui hal ini?’ Aku katakan kepada mereka, Mari aku tunjukkan tempat penyimpanannya kepada kalian.’ Mereka berkata, Tunjukkan kepada kami tempat penyimpanannya!’ Aku tunjukkan tempat penyimpanan uskup tersebut kepada mereka, kemudian mereka mengeluarkan tujuh tempayan yang penuh dengan emas dan perak. Ketika mereka melihat ketujuh tempayan tersebut, mereka berkata, Demi Allah, kita tidak akan mengubur mayat uskup ini.’ Mereka menyalib uskup tersebut dan melemparinya dengan batu. Setelah itu, mereka menunjuk orang lain untuk menjadi uskup pengganti.” Salman Bersama Pendeta Yang Shalih Pada momen ini mereka seketika mengganti pendeta mereka yang lebih baik, Salman berkata, “Mereka menggati pendeta mereka. Demi Allah saya tidak pernah melihat seseorang yang shalat lima waktu lebih baik darinya; tidak juga seseorang yang lebih zuhud dari kehidupan dunia ini dan sangat condong kepada akhirat, tidak juga seseorang yang lebih bersungguh-sungguh bekerja siang dan malam dibanding dengannya. Saya mencintainya lebih daripada orang lain yang saya cintai sebelumnya.” “Saya tinggal bersamanya selama beberapa waktu sebelum dia meninggal. Ketika ajalnya hampir tiba saya berkata kepadanya, “Wahai fulan, saya tinggal bersamamu dan mencintaimu lebih dari apapun yang saya cintai sebelumnya. Kini takdir Allah yakni kematian telah tiba, apa yang engkau wasiatkan kepadaku agar kupegang, dan apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. “Sang pendeta berkata, Demi Allah, orang-orang telah merugi; mereka telah merubah dan mengganti agama apa yang mereka berada di atasnya. Saya tidak mengetahui seorang pun yang masih berpegang kepada agama yang saya berada di atasnya kecuali seorang laki-laki di Musil, maka bergabunglah dengannya.’ dan dia memberikan Salman nama orang tersebut.” Salman Bersama Uskup Al-Maushil Salman berkata, “Ketika uskup tersebut meninggal dunia dan dikubur, aku pergi kepada uskup Al-Maushil. Ketika tiba di sana, aku katakan kepadanya, Hai Fulan, sesungguhnya uskup Si Fulan telah berwasiat kepadaku ketika hendak meninggal dunia agar aku pergi kepadamu. la jelaskan kepadaku bahwa engkau seperti dia.’ Uskup tersebut berkata, Tinggallah bersamaku.’ Aku menetap bersamanya. Aku lihat ia orang yang sangat baik seperti cerita sahabatnya. Tidak lama kemudian uskup tersebut meninggal dunia. Menjelang meninggal dunia, aku berkata kepadanya, Hai Si Fulan, sesungguhnya uskup Si Fulan telah berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu dan sekarang keputusan Allah telah datang kepadamu seperti yang engkau lihat, maka kepada siapa aku engkau wasiatkan? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Uskup berkata, Anakku, demi Allah, aku tidak tahu ada orang yang seperti kita kecuali satu orang saja di Nashibin, yaitu Si Fulan. Pergilah kepadanya!”. Salman Pergi Kepada Uskup Nashibin Salman berkata, “Ketika uskup tersebut telah meninggal dunia dan dimakamkan, aku pergi kepada uskup Nashibin. Aku jelaskan perihal diriku kepadanya dan apa yang diperintahkan dua sahabatku kepadanya. Ia berkata, Tinggallah bersamaku.’ Aku tinggal bersamanya, dan aku dapati dia seperti dua sahabatnya yang telah meninggal dunia. Aku tinggal bersama orang terbaik. Demi Allah, tidak lama kemudian ajal menjemputnya. Menjelang kematiannya, aku berkata kepadanya, Hai Si Fulan, sungguh Si Fulan telah berwasiat kepadaku agar aku pergi kepada Si Fulan, kemudian Si Fulan tersebut berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu, maka kepada siapa aku engkau wasiatkan? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Uskup tersebut berkata, Anakku, demi Allah, aku tidak tahu ada orang yang seperti kita dan aku perintahkan engkau pergi kepadanya kecuali satu orang di Ammuriyah wilayah Romawi. la sama seperti kita. Jika engkau mau, pergilah kepadanya, karena ia sama seperti kita!”. Salman Pergi Kepada Uskup Ammuriyah Dan Ia Berwasiat Agar Mengikuti Nabi Dan Menjelaskan Sifat Nabi Kepadanya Salman berkata, “Ketika uskup Nashibin telah meninggal dunia dan disemayamkan, aku pergi kepada uskup di Ammuriyah. Aku jelaskan perihal diriku kepadanya. Ia berkata, Tinggallah bersamaku.’ Aku tinggal bersama orang terbaik sesuai dengan petunjuk sahabat-sahabatnya dan perintah mereka. Aku bekerja hingga aku mempunyai beberapa lembu dan kambing. Tidak lama kemudian, uskup tersebut juga meninggal dunia. Menjelang kematiannya, aku bertanya kepadanya, Hai Si Fulan, sungguh aku pernah tinggal bersama Si Fulan kemudian ia berwasiat kepadaku agar aku pergi kepada Si Fulan, kemudian Si Fulan tersebut berwasiat kepadaku agar aku pergi kepada Si Fulan, kemudian Si Fulan tersebut berwasiat kepadaku agar aku pergi kepada Si Fulan, kemudian Si Fulan tersebut berwasiat kepadaku agar aku pergi kepadamu, maka kepada siapa aku engkau wasiatkan? Apa yang engkau perintahkan kepadaku?’ Uskup berkata, Anakku, demi Allah, sungguh aku tidak tahu pada hari ini ada orang-orang yang seperti kita yang engkau bisa aku perintahkan pergi kepadanya, namun telah dekat datangnya seorang Nabi. Ia diutus dengan membawa agama Ibrahim Alaihissalam dan muncul di negeri Arab. Tempat hijrahnya adalah daerah di antara dua daerah yang berbatu dan di antara dua daerah tersebut terdapat kurma. Nabi tersebut mempunyai tanda-tanda yang tidak bisa disembunyikan; ia memakan hadiah dan tidak memakan sedekah. Di antara kedua bahunya terdapat cap kenabian. Jika engkau bisa pergi ke negeri tersebut, pergilah engkau ke sana!”. Saat Salman bertemu uskup amuriyah, uskup tersebut memberi pesan akan kadatangan Nabi, kami mengingat ada nubuwatan dalam taurat, Ulangan 1818 TB seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Ulangan 1819 TB Orang yang tidak mendengarkan segala firman-Ku yang akan diucapkan nabi itu demi nama-Ku, dari padanya akan Kutuntut pertanggungjawaban. Ulangan 1820 TB Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati. Yang dimaksud saudara-saudara mereka adalah saudara bani israel, yaitu bani Ismail yang nubuwatnya jelas tertulis dalam taurat, kami mengutip perkataan Dr Shaleh As-Shaleh, beliau berkata “Pendeta tersebut mengetahui bahwa keimanan Ibrahim adalah keimanan yang benar untuk diikuti. Dia tentunya telah membaca janji Allah untuk menjadikan Kaum Besar’ dari keturunan Ismail Genesis 2118, dan oleh karena itu dia mewasiatkan Salman untuk pergi dan bergabung dengan Nabi , yang berasal dari keturunan Ismail, yang berserah diri kepada Allah dan mengikuti millah Ibrahim. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ ءَايٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” QS. Al-Baqarah 2 Ayat 129 Dr Shaleh As-Saleh melanjutkan Laki-laki tersebut mengetahui apa yang disebutkan dalam kitab mereka mengenai wahyu Tuhan Allah datang dari Timan bagian utara kota Madinah di negeri Arab, menurut kamus Injil J. Hasting, dan Ruhul Qudusi’ datang dari Faran. Ulangan 332 TB Berkatalah ia “TUHAN datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir; Ia tampak bersinar dari pegunungan PARAN dan datang dari tengah-tengah puluhan ribu orang yang kudus; di sebelah kanan-Nya tampak kepada mereka api yang menyala. Kejadian 2121 TB Maka tinggallah ia di padang gurun PARAN, dan ibunya mengambil seorang isteri baginya dari tanah Mesir. pegunungan Faran adalah tempat dimana Nabi Ismail bertempat tinggal dan memiliki dua belas anak, salah satu diantaranya adalah Kedar, anak kedua Ismail .Dalam Isaiah 421-13, kekasih Tuhan’ dihubungkan dengan keturunan Kedar, nenek moyang Nabi Muhammad. Ketika Nabi Muhammad mendakwahi penduduk Makkah untuk berserah diri kepada Allah, sebagian besar mereka menolak, dan berencana untuk membunuh Nabi. Beliau bersama orang-orang yang masuk Islam diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Madinah. Lalu perang terjadi di Badar antara “sedikit orang dengan persenjataan seadanya’ diwakili oleh Muhammad dan para pengikutnya, dan kaum kafir dari Makkah, setahun setelah Nabi hijrah. Nabi dan para sahabatnya memperoleh kemenangan Yesaya 21 13-17. Ucapan Allah Terhadap Arab dalam Taurat bahasa Arab وحي من جهة بلاد العرب Yesaya 2113 TB Ucapan ilahi terhadap Arabia. Di belukar di Arabia kamu akan bermalam, hai kafilah-kafilah orang Dedan! Yesaya 2114 TB Hai penduduk tanah Tema, keluarlah, bawalah air kepada orang yang haus, pergilah, sambutlah orang pelarian dengan roti! Yesaya 2115 TB Sebab mereka melarikan diri terhadap pedang, ya terhadap pedang yang terhunus, terhadap busur yang dilentur, dan terhadap kehebatan peperangan. Yesaya 2116 TB Sebab beginilah firman Tuhan kepadaku “Dalam setahun lagi, menurut masa kerja prajurit upahan, maka segala kemuliaan Kedar akan habis. Yesaya 2117 TB Dan dari pemanah-pemanah yang gagah perkasa dari bani Kedar, akan tinggal sejumlah kecil saja, sebab TUHAN, Allah Israel, telah mengatakannya.” Mantan Pendeta Benjamin kaldani berkata Bacalah nubuat-nubuat dari kitab Yesaya dan kitab Ulangan yang berbicara tentang sinar Tuhan dari Paran Jika Ismail menghuni padang gurun Paran, tempat ia melahirkan Kedar, yakni nenek moyang bangsa Arab; dan jika anak-anak Kedar harus memberikan sambutan pada altar ilahi untuk mengagungkan “rumah keagunganNya” dimana kegelapan akan menyelimuti bumi selama beberapa abad, dan kemudian negeri itu akan menerima terang dari Tuhan; dan jika semua keagungan Kedar akan runtuh dan jumlah para pemanah, orang-orang perkasa dari anak-anak Kedar akan lenyap dalam setahun setelah orang itu melarikan diri dari pedang yang di hunus dan busur yang dilentur-Yang kudus dari Pegunungan paran Habakuk 33 tak lain adalah Muhammad. Muhammad keturunan suci dari Ismail melalui Kedar, yang berdiam di padang gurun paran. Melalui dia, maka Tuhan bersinar di Paran, dan Mekkah adalah satu-satunya tempat dimana rumah Allah bait Allah dimuliakan dan domba-domba Kedar memberikan sambutan diatas altarnya. Muhammad dizalimi oleh kaumnya dan terpaksa meninggalkan Mekkah. Dia kehausan dan melarikan diri dari pedang yang dihunus dan busur yang dilentur, dan setahun dalam sejarah dituliskan Nabi hijrah juni 623, sedang akhir perang badar maret 624 yakni tahun ke 2 kemudian setelah Muhammad meninggalkan Mekkah, dalam perang Badar, dia berhasil mengalahkan penduduk Mekkah dan sejumlah bani Kedar yang gagah perkasa tewas dan semua kemuliaan Kedar tumbang dalam perang Badar, Dedan adalah nama kuno daerah sekitaran madinah, sekarang disebut Al-Ula, dalam Al-Quran Allah juga berfirman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِىٓ إِسْرٰٓءِيلَ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَىَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًۢا بِرَسُولٍ يَأْتِى مِنۢ بَعْدِى اسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَآءَهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ قَالُوا هٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ “Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata, Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab yang turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad Muhammad. Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, Ini adalah sihir yang nyata.” QS. As-Saff 61 Ayat 6 Lalu Salman melanjutkan ceritanya Laki-laki itu meninggal dan Salman tinggal di Amuriyah. Suatu hari, “Beberapa pedagang dari Bani Kalb melewatiku,” Salman berkata, “Saya berkata kepada mereka, Bawalah saya ke negeri Arab dan Saya akan memberikan sapi-sapi dan kambing yang aku miliki.’” Mereka berkata, “Baiklah.” Salman memberikan kepada mereka apa yang dia tawarkan, dan mereka pun memebawa Salman ikut bersama mereka. Ketika mereka mendakati Wadi Al-Qura dekat dengan Madinah, mereka menjualnya sebagai budak kepada seorang Yahudi. Salman tinggal bersama Yahudi tersebut, dan dia melihat pohon-pohon kurma yang digambarkan oleh sahabatnya sebelumnya. “Saya berharap ini adalah tempat yang sama dengan yang digambarkan sahabatku.” Kata Salman. Suatu hari, seorang laki-laki yakni sepupu majikan Salman dari suku Yahudi Bani Quraidha di Madinah datang berkunjung. Dia membeli Salman dari majikan Yahudi-nya, “Dia membawaku ke Madinah. Demi Allah! Ketika saya melihatnya, saya tahu itulah tempat yang disebutkan oleh sahabatku.” “Kemudian Allah mengutus Rasul-Nya yakni Muhmammad . Dia tinggal di Makkah selama beberapa Saya tidak mendengar apapun tentangnya karena saya sangat sibuk dengan pekerjaan sebagai budak, dan kemudian beliau hijrah ke Madinah.” Lebih lanjut Salman berkata, “Suatu hari saya sedang berada di atas pohon kurma di puncak salah satu rumpun kurma melakukan beberapa pekerjaan untuk majikanku. Saudara sepupunya datang kepadanya dan berdiri di hadapannya majikan Salman sedang duduk dan berkata, Celaka Bani Qilah orang-orang dari suku Qilah, mereka berkumpul di Quba16 disekitar seorang laki-laki yang datang hari ini dari Makah mengatakan dirinya sebagai seorang Nabi!,“Saya bergetar hebat ketika mendengarnya hingga saya khawatir saya akan jatuh menimpa majikanku. Saya turun dan berkata, “Apa yang engkau katakan? Apa yang engkau katakan?” Majikanku menjadi marah dan memukulku dengan pukulan yang kuat seraya berkata, “Apa urusanmu mengenai ini? Pergi dan kerjakanlah pekerjaanmu!” Saya berkata, “Tidak, saya hanya ingin memastikan apa yang telah ia katakan”. Pada malam itu, saya pergi untuk menemui Rasulullah ketika beliau berada di Quba. Saya membawa serta apa yang saya simpan. Saya masuk dan berkata, Saya telah diberitahu bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang shalih dan para sahabatmu adalah orang-orang asing yang membutuhkan. Saya ingin memberikan kepadamu sesuatu yang saya simpan sebagai sedekah. Saya melihat kalian berhak mendapatkannya lebih daripada orang yang lain.’’Salman berkata, “Saya menawarkan kepadanya; dia berkata kepada para sahabatnya, Makanlah,’ tetapi dia sendiri menjauhkan tangannya yakni tidak makan. Saya berkata kepada diriku sendiri, Inilah dia yakni salah satu tanda-tanda kenabiannya. Setelah pertemuannya dengan Nabi , Salman kembali untuk mempersiapkan ujian berikutnya! Kali ini dia membawa hadiah untuk Nabi di Madinah. “Saya melihat engkau tidak makan dari sedekah, karena itu ambillah hadiah ini yang dengannya saya ingin menghormati engkau.” Nabi makan darinya dan memerintahkan para sahabatnya untuk melakukannya, yang diikuti oleh mereka. Saya berkata kepada diriku, Sekarang ada dua yakni dua tanda kenabian.’’Pada pertemuan ketiga, Salman datang ke Baqi’ul Gharqad tempat pemakaman para sahabat Nabi dimana Nabi sedang menghadiri pemakanan salah seorang sahabatnya. Salman berkata, “Saya menyapanya dengan sapaan Islam Assalamu’alaikum’, dan kemudian berputar ke belakangnya hendak melihat stempel kenabian yang digambarkan kepadaku oleh sahabatku. Ketika beliau melihatku, beliau mengetahui bahwa saya sedang berusaha membuktikan sesuatu yang digambarkan kepadaku. Beliau melepaskan kain dari pnggungnya dan saya melihat stempel itu. Saya mengenalinya. Saya membungkuk dan menciumnya dan menangis. Rasulullah memerintahkanku untuk berbalik yakni berbicara kepadanya. Saya menceritakan kisahku sebagaimana yang saya kisahkan kepadamu, Ibnu Abbas ingat bahwa Salman sedang menceritakan kisahnya kepada Ibnu Abbas. Beliau sangat menykainya sehingga memintaku menceritakan seluruh kisahku kepada para sahabatnya.” Dia masih menjadi milik budak majikannya. Dia tidak ikut dua peperangan menghadapi kaum kafir Arab. Nabi berkata kepadanya, “Buatlah perjanjian dengan tuanmu untuk kebebasanmu, hai Salman.” Salam mematuhi dan membuat perjanjian dengan tuannya untuk kebebasannya. Dia mendapatkan persetujuan dengan majikannya dimana dia akan membayar majikannya 40 ukiyah emas dan berhasil menanam 300 pohon kurma yang baru. Nabi berkata kepada para sahabatnya, “Bantulah saudaramu.” Mereka membantunya dengan pohon kurma dan mengumpulkan baginya jumlah yang diminta. Nabi memerintahkan Salman untuk menggali lubang yang cukup untuk menanam bibit, dan beliau menananam setiap bibit dengan tangannya sendiri. Salman berkata. “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak satupun pohon yang mati.” Salman memberikan pohon-pohon tersebut kepada majikannya. Nabi memberi Salman emas sebesar telur ayam dan berkata, “Bawalah ini, Wahai Salman, dan bayarlah utangmu.” Salman berkata “Berapa banyak ini dibandingkan dengan jumlah hutangku?” Nabi bersabda “Ambillah! Sesungguhnya Allah akan mencukupkan sejumlah hutanmgu.”17 Saya mengambilnya dan menimbang sebagiannya dan ia seberat 40 ukyah. Salman memberikan emas itu kepada tuannya. Dia telah memenuhi perjanjian dan dia dibebaskan. Begitu mengharukan kisah perjuangan Salman Al-Farisi untuk mencari kebenaran, dia berpindah-pindah dari negeri Iran, syam, maushil, uskup nashibin, wadhil qura hingga tiba di Madinah bertemu dengan dambaannya yaitu Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, padahal beliau seorang kaya tinggal di keluarga kaya, tetapi rela mencari kebenaran hingga menjadi budak, kisah ini tentunya wajib kita teladani sebagai generasi yang selalu mengutamakan kebenaran dan penghambaan yang total kepada Allah, sebagai penutu kami kutip riwayat dari abu huroiroh pada suatu hari Abu hurairah berkata “Kami sedang duduk bersama Rasulullah ketika Surat Al-Jumu’ah diturunkan. Beliau membacanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, وَءَاخَرِينَ مِنْهُمْ لَمَّا يَلْحَقُوا بِهِمْ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “dan juga kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana,” QS. Al-Jumu’ah 62 Ayat 3 Seseorang diantara mereka berkata, Ya Rasulullah! Siapakah yang orang disebutkan dan belum bergabung dengan kita?’ Tetapi Rasulullah tidak menjawabnya sampai dia bertanya tiga kali. Salaman al-Farisi berada diantara kami. Rasulullah meletakkan tangannya pada Salman dan kemudian berkata, Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, meskipun jika iman dekat Ats-Tsurayya, laki-laki dari mereka yakni Salman tentu akan mendapatkannya.” Sunan at-Tirmdizi. Sumber The Search for the Truth by a Man Known as Salman the Persian, Dr. Saleh as-Saleh Siroh Ibnu Hisyam Muhammad in the bible, Benjamin kaldani
Bilalbin al-Harits (meninggal tahun 680 M) adalah salah satu sahabat Nabi.Nama lengkapnya adalah Bilal bin al-Harits bin 'Ashim bin Sa'ad bin 'Amr bin Sa'ad bin Qurrah bin Khaladah bin Tsa'labah bin Tsaur bin Hadzamah bin Lathim bin Amr bin Ghanm (Muzainah) al-Muzani, sedangkan nama panggilan atau kunyah ia adalah Abu 'Abdurrahman al-Madani. Pada awal mula kehidupannya, ia tinggal di
Kisah tentang sahabat rasul memang banyak menyimpan ibrah dan teladan. Termasuk sepenggal episode kisah dua orang sahabat rasul, Salman al-Farisi Ra. dan Abu Darda Ra. yang memang sudah begitu seorang Salman al-Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah saw berdarah Persia. Sebelum memeluk Islam, ia termasuk bagian dari orang-orang majusi, penyembah api Zoroaster. Namun ketika cahaya Islam menyentuhnya – layaknya para sahabat yang lain – menjadi salah seorang yang militan dan semangat dalam membela ketika Salman al-Farisi tengah gundah gulana, sang arsitek Perang Khandak tersebut tengah mencari jodoh. Mungkin lama sudah ia membujang hingga perlunya ingin segera mengakhiri masa Salman al-Farisi telah lama mengincar salah seorang perempuan salihah yang hendak ia khitbah dalam waktu dekat. Menurur riwayat, perempuan pujaan Salman tersebut adalah gadis Anshor yang merupakan seorang mu’minah nan cantik lagi urusan khitbah bukan permasalahan sepele bagi Salman, ia butuh seorang perantara untuk menyampaikan keinginannya melamar sang pujaan. Terbesitlah salah seorang sahabat karibnya untuk dimintai pertolongan, Abu bukanlah tempat kelahiran dan daerah asal Salman al-Farisi, oleh karenanya ia meminta Abu Darda menjadi perantara prosesi khitbahnya. Keinginnan Salman pun disampaikan ke Abu Darda. “Subhanallah wal Hamdulillah” ucap Abu Darda dengan penuh kegirangan setelah mendengar keinginan sahabatnya Salman yang hendak meminta bantuannya perihal Darda pun tak perlu pikir panjang, dengan senang hati ia membantu hajat sahabatnya tiba waktunya mereka berdua menuju ke rumah gadis anshar yang disukai oleh Salman al-Farisi. Setelah sampai di rumah orang tua fulanah tersebut, Abu Darda bertemu dengan kedua orang tuanya. Tanpa babibu panjang lebar, Abu Darda mengungkapkan perihal maksud kedatangannya.“Saya adalah Abu Darda dan ini adalah saudara saya Salman al-Farisi dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia telah memiliki kedudukan mulia di mata Rasulullah Saw. hingga beliau menyebutnya sebagai ahlul bait,” ucap Abu Darda dengan penuh wibawa.“Saya datang ke sini mewakili saudara saya Salman al-Farisi untuk melamar putri Anda”.Ternyata sang gadis telah mendengar sayup-sayup dari bilik rumah perbincangan antara kedua orang tuanya dan Abu Darda. Sang Ayah dari seorang putri yang diidamkan oleh Salman pun mengembalikan semua keputusan pada putrinya, apakah menerima atau sang Ibunda berbicara mewakili putrinya dan takdir Allah berkehendak lain. “Maafkan kami atas keterusterangan ini, putri kami menolak dengan penuh hormat pinangan ananda Salman al-Farisi.”Tak cukup sampai disitu, bak halilintar di siang bolong, Ibu dari sang putri shalihah berucap “Namun jika Saudara Abu Darda memiliki tujuan yang sama, maka putri kami lebih memilih antum sebagai calon suaminya.”Bayangkan jika kita berada di posisi Salman saat itu, apa yang akan kita lakukan mendengar hal tidak demikian dengan Salman al-Farisi, di sinilah letak kemuliaan manusia-manusia hasil didikan Rasulullah Saw. Dengan fasih dan berwibawa ia berujar “Semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan ini aku serahkan kepada Abu Darda.”Tak cukup berkata itu, Salman kembali mengucap lantang “Dan aku akan menjadi saksi atas pernikahan kalian”.Kisah tersebut akhirnya termaktub dan mengekal dalam sejarah Islam karena kemuliaan Salman al-Farisi yang tidak menuhankan cinta semata. Bayangkan jika Salman bersikap sebaliknya, berputus asa, galau merana, lari mengambil pisau atau mencari tebing untuk mengakhiri hidupnya, mungkin hanya akan menjadi romansa picisan yang cepat khitbah, nikah dan jodoh adalah satu hal yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Terlebih di bulan Syawal ini, ratusan jomlo dipastikan melepas masa lajangnya sekaligus masih banyak pula para jomlo yang semakin galau melihat berderet sahabat angkatan gengnya telah dari kisah tersebut tidak semata meneladani kualitas akhlak dan keimanan Salman al-Farisi semata, tentu masih ada hikmah yang lain. Yaitu untuk kaum jomlo biar gak jadi pagar makan tanaman alangkah baiknya pastikan mak comblang’ yang kamu pilih saat melamar si dia tidak lebih keren atau lebih tampan daripada kamu, tidak juga lebih kaya dari kamu, syukur-syukur dia sudah menikah, tentu itu lebih aman. Intinya tetap semangat aja mencari jodoh ya A’lam. Biografiprofil Biodata sejarah tokoh ilmuwan penemu pertama kali foto gambar indonesia dunia terkenal terbaru cerita kisah saksi hidup deskripsi loading...Salman Al-Farisi disebut Rasulullah sebagai Ahlul Bait, sementara Ali bin Abu Thalib memberi gelar Luqmanul Hakim. Ilustrasi/Ist Salman Al-Farisi adalah anak seorang bangsawan, bupati, di daerah kelahirannya, Persia. Ia sempat tertipu di tengah perjalanannya mencari kebenaran Illahi. Ia diperjualbelikan sebagai budak. Beliau terdampar di Madinah, menjadi budak orang Yahudi . Beliau masuk Islam dan Allah membebaskan dirinya. Baca Juga Sebagaimana lelaki normal lainnya, pria bertubuh tegap ini pun sempat jatuh cinta. Sayang, cintanya bertepuk sebelah tangan. Hati Salman kepincut perempuan Anshar. Yakni perempuan asli kelahiran Madinah. Di kalangan kaum Anshar , Salman sejatinya dianggap sebagai keluarga mereka. Demikian juga kaum Muhajirin . Pendatang dari Mekkah ini juga menganggap Salman bagian dari kaum waktu perang Khandaq, saat Salman menelorkan ide cerdas membangun parit untuk menahan pasukan kafir Quraish, kaum Anshar mengklaim Salman sebagai kaum mereka. “Salman dari golongan kami,” ujar kaum Anshar. Pernyataan kaum Anshar ini direspon kaum Muhajirin. Mereka berdiri dan berkata, “Tidak. ia dari golongan kami!” Rasulullah SAW pun akhirnya memanggil mereka yang bersengketa itu, “Salman adalah golongan kami, Ahlul Bait. Dan memang selayaknyalah jika Salman mendapat kehormatan seperti itu,” ujar Rasulullah SAW. Baca Juga Ali bin Abi Thalib memberi gelar Salman dengan “Luqmanul Hakim”. Dan sewaktu ditanya mengenai Salman, yang ketika itu telah wafat, maka jawabnya “Ia adalah seorang yang datang dari kami dan kembali kepada kami Ahlul Bait. Siapa pula di antara kalian yang akan dapat menyamai Luqmanul Hakim. Ia telah beroleh ilmu yang pertama begitu pula ilmu yang terakhir. Dan telah dibacanya kitab yang pertama dan juga kitab yang terakhir. Tak ubahnya ia bagai lautan yang airnya tak pernah kering”. Dalam kalbu para sahabat umumnya, pribadi Salman telah mendapat kedudukan mulia dan derajat Salman yang tinggi itu tidak serta merta menjadi magnet bagi perempuan. Dan itu yang tidak diketahui Salman. Cintanya DitolakPada suatu ketika, Salman Al Farisi bermaksud melamar gadis pujaan hatinya itu. Dia mengajak sahabatnya, Abu Darda, untuk menemaninya. Abu Darda merasa tersanjung dengan ajakan Salman itu. Ia pun memeluk Salman Al Farisi dan bersedia segala sesuatunya dianggap beres, keduanya pun mendatangi rumah sang gadis. Selama perjalanan, mereka tampak gembira. Setiba di tujuan, keduanya diterima dengan tangan terbuka oleh kedua orang tua wanita Anshar tersebut. Baca Juga Abu Darda menjadi juru bicara. Ia memperkenalkan dirinya dan juga Salman Al Farisi. Ia menceritakan mengenai Salman Al Farisi yang berasal dari Persia. Abu Darda juga menceritakan mengenai kedekatan Salman Al Farisi yang tak lain adalah sahabat Rasulullah SAW. Dan terakhir adalah maksudnya untuk mewakili sahabatnya itu untuk maksud mereka melamar putrinya, membuat tuan rumah merasa sangat terhormat. Mereka senang akan kedatangan dua orang sahabat Rasulullah. Hanya saja, sang ayah tidak serta merta menerima lamaran itu. Sebagaimana diajarkan Rasulullah, sang ayah harus bertanya dulu bagaimana pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Karena jawaban itu adalah hak dari putrinya secara ayah pun lalu memberikan isyarat kepada istri dan juga putrinya yang berada di balik hijabnya. Ternyata sang putri telah mendengar percakapan sang ayah dengan Abu Darda. Gadis ini juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Berdebarlah jantung Salman Al Farisi saat menunggu jawaban dari balik tambatan hatinya. Abu Darda pun menatap gelisah pada wajah ayah si gadis. Dan tak begitu lama semua menjadi jelas ketika terdengar suara lemah lembut keibuan sang bunda yang mewakili putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi.“Mohon maaf kami perlu berterus terang,” kalimat itu membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda berdebar tak sabar. Perasaan tegang dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka berdua.“Karena kalian berdua yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda juga memiliki keinginan yang sama seperti keinginan Salman Al Farisi,” katanya.
1 Persaudaraan dalam Islam 2. Keyakinan dan Dedikasi Kisah Cinta Salman Al-Farisi dan Abu Darda' 1. Cinta dalam Islam 2. Pengorbanan dalam Cinta Kisah Abu Darda, Terlalu Rajin Ibadah Sehingga Lupa Istri dan Membenci Harta Kisah Abu Darda dan Salman Al-Farisi Apa itu Kisah Abu Darda dan Salman Al-Farisi? Makna Kisah Abu Darda dan Salman Al-Farisi
ilustrasi suami istri harmonis © annamis photography ilustrasi suami istri harmonis © annamis photography Sengaja, kata mengharmoniskan’ di sini memakai tanda petik. Sebab, maksudnya bukan berarti rumah tangga sahabat tidak harmonis atau ada percekcokan/perselisihan. Melainkan, kehidupan asmara di rumah tangga sahabat tersebut kurang bergairah.’ Kisah ini bermula saat Salman Al Farisi berkunjung ke rumah Abu Darda’. Seperti diketahui, Salman Al Farisi dan Abu Darda’ dipersaudarakan oleh Rasulullah pada awal hijrah. Telah beberapa lama Salman tidak mengunjungi saudaranya itu. Dan kali ini, saat ia berada di rumahnya, ia melihat Ummu Darda’ mengenakan pakaian yang lusuh. Penampilannya tidak sedap dipandang. “Mengapa engkau tidak berhias?” tanya Salman yang merasa aneh dengan dengan penampilan istri Abu Darda’ itu. “Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh pada dunia,” jawab Ummu Darda’. Jawaban itu singkat, namun bagi seorang yang cerdas sekelas Salman yang terkenal dengan ide strategi Khandaq sewaktu Madinah diserang pasukan Ahzab, kalimat itu cukup bisa dimengerti. Bahwa Abu Darda’ sangat serius beribadah. Bahwa Abu Darda’ menghabiskan waktunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hingga ia tak lagi mengurus penampilannya. Dan ia juga kurang memberikan perhatian dan memenuhi hak batin istrinya. Beberapa saat kemudian, datang Abu Darda’. Dua sahabat yang luar biasa ini pun berjumpa. Sebagai bentuk penghormatan kepada tamu sebagaimana sabda Nabi “man kana yu’minu billahi wal yaumil akhiri falyukrim dhaifahu” barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menghormati tamunya, keluarga Abu Darda’ pun menghidangkan makanan untuk Salman. “Makanlah wahai Salman. Maaf, aku sedang puasa,” kata Abu Darda’. “Aku tidak akan makan jika engkau tidak makan,” jawab Salman, tegas. Abu Darda’ pun luluh. Ia membatalkan puasa sunnahnya. Mereka pun makan berdua. Malamnya, Salman menginap di rumah Abu Darda. Ketika dilihatnya Abu Darda bangun hendak shalat malam, Salman menyuruhnya tidur lagi. “Tidurlah dulu,” kata Salman. Saat malam mendekati akhir, barulah Salman memberitahukan Abu Darda’ untuk shalat malam. Sebelum pulang, Salman berpesan kepada Abu Darda’ “Sesungguhnya, bagi Rab-mu ada hak, dan atas badanmu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka, tunaikanlah hak masing-masing.” Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Salman benar.” Demikianlah teladan mulia dari generasi paling mulia, generasi sahabat radhiyallahu anhum. Mereka saling mengingatkan, agar hidup istiqamah di bawah naungan Al Qur’an dan Sunnah. Sekaligus hidup seimbang sesuai pedoman keduanya. Jika dengan alasan ibadah saja kita tidak boleh melupakan hak-hak istri, bagaimana dengan orang-orang yang melupakan hak-hak istrinya karena alasan kerja dan mengejar karir? Padahal ekonominya sudah mapan dan pekerjaan itu sejatinya bisa didelegasikan. Bagaimana pula orang-orang yang sering tak bisa bertemu anaknya karena gila kerja’ dan mengejar jabatan? Saat ia pulang anak-anaknya telah tidur dan saat ia berangkat anak-anaknya belum bangun. Tidak sedikit keluarga yang mengalami masalah, sebenarnya bukan karena persoalan ekonomi. Melainkan karena kurangnya kebersamaan. Kurangnya waktu bertemu dan bermesraan. Kurangnya pehatian. Akhirnya sering terjadi miskomunikasi, sering terjadi kesalahpahaman. Hal kecil menjadi masalah besar. [Tim Redaksi
Ahmad 5/441; ath-Thabrani dalam al-Kabir (6/222); Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqat, 4/75; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/323) Demikianlah kisah perjalanan Salman Al-Farisi memeluk Islam pada zaman dahulu. Semoga kisah ini bisa bermanfaat untuk kita semua.
- Ada banyak kisah mengenai orang-orang Majusi atau agama Zoroaster —para penyembah api— dalam sejarah Islam. Salah satu kisahnya adalah tentang Mabah bin Budzkhasyan bin Mousilan bin Bahbudzan bin Fairuz bin Sahrk Al-Isfahani. Nama yang panjang dan gelar “Al-Isfahani” di belakang adalah laqob yang menjelaskan bahwa pria ini berasal dari daerah bernama Isfahan, wilayah Persia tentang nama Laqob, baca Abu Hurairah dan Laqob Santri.Dari riwayat Abdullah bin Abbas, dikisahkan bahwa Mabah kecil merupakan penyembah api karena memang lahir dari keluarga Majusi. Ayahnya merupakan pemimpin di daerah tempatnya tinggal. Mabah adalah penganut kitab Zend Avesta yang taat. Bahkan ia mendapat jabatan mumpuni sebagai penjaga kuil di masa remajanya. Merujuk narasi yang dikisahkan ulang oleh Hadji Agus Salim dalam makalah “Salman Al-Farisi dan Kesaksian Nabi Muhammad” Pesan-Pesan Islam Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University, Bandung, 2011, tugas Mabah sebagai penjaga kuil tidak terlalu sulit. Ia hanya harus menjaga agar api di dalam kuil terus menyala. Namun, tugas ini juga membuatnya tidak bisa kemana-mana. Suatu saat sang ayah meminta Mabah untuk membantunya di kebun. Dalam perjalanan menuju kebun Mabah melewati sebuah gereja, diam-diam Mabah mendengarkan doa-doa dalam gereja yang dilewati. Dari sana, Mabah merasakan ketertarikan yang kuat. Begitu sampai rumah, Mabah menceritakan apa yang ia saksikan dalam perjalanan ke kebun. Mabah pun mengatakan kepada ayahnya bahwa ia tertarik dengan agama tersebut. Mendengarnya tentu saja ayah Mabah marah luar biasa dan mengurungnya di rumah. Pada waktu-waktu tertentu, penganut Nasrani di Isfahan punya ritual akan berangkat menuju ke Negeri Syam. Mabah yang mengetahuinya berontak. Dengan segala ia mencoba kabur dari rumah agar bisa ikut serta dalam rombongan. Dan ia berhasil. Sejak itulah Mabah mendaku diri sebagai seorang Nasrani. Mabah kemudian mempelajari dan menjadi seorang Nasrani yang taat. Berguru pada seorang pendeta Nasrani. Di tengah-tengah pembelajarannya, Mabah mendapat kabar dari gurunya bahwa di daerah yang tumbuh subur pohon Kurma di Jazirah Arab terdapat seorang nabi yang menyerukan agama baru. Begitu mendengar kabar itu, Salman pun berangkat. Di tengah perjalanan Mabah malah ditipu oleh rombongannya dan dijual sebagai budak. Mabah akhirnya jatuh ke tangan seorang Yahudi. Dari sanalah akhirnya ia malah menuju Madinah dan bertemu langsung dengan Nabi cerita, Mabah kemudian dibebaskan status budaknya oleh Nabi dengan harga 300 tunas pohon kurma dan beberapa dirham emas. Di saat yang bersamaan, Mabah mendapatkan nama baru. Abu Abdullah adalah nama yang dikenal oleh saudara-saudara barunya dan Salman Al-Farisi adalah nama yang kemudian lebih dikenal dalam sejarah Islam. Peristiwa itu terjadi antara periode setelah Perang Uhud 625 Masehi dan sebelum Perang Khandak 627 Masehi. As-Sirah an-Nabawiyyah fi Dhau’i al-Mashadir al-Ashliyyah Dirasah Tahliyyah, terj., 2005 376 Arti Penting Kekalahan dalam Perang Uhud Perang Badar dan Kemenangan Besar di Bulan Ramadan Menegur Ibadah Abu Darda’ Saat kedatangan Nabi Muhammad di Madinah, untuk mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin kelompok pendatang dan kaum Anshor penduduk asli Madinah, Nabi memiliki kebijakan untuk mempersaudarakan al-ikha’ setiap orang. Salman Al-Farisi dengan nama barunya ini pun tidak luput dari kebijakan tersebut. Di Madinah, Salman diikat persaudaraan dengan Abu Darda’, seorang penduduk asli yang sangat rajin beribadah. Bahkan dalam riwayat Imam al-Bukhari Hadist no. 1867 dari riwayat Juhaifah RA disebutkan bahwa ibadah Abu Darda’ masuk pada kategori ekstrem. Padahal, pemahaman dan perilaku agama yang ekstrem tidak dianjurkan. Nabi Muhammad pernah menegur sahabat Mu’adz bin Jabal ketika menjadi imam salat karena berlama-lama dengan bacaan surat yang begitu panjang. Hal yang menunjukkan bahwa pada tataran kecil saja, Nabi Muhammad begitu memerhatikan aspek keseharian para umatnya. Baca Kisah Unik di Balik Peninggalan Nabi Muhammad Hal yang sama terjadi dengan Abu Darda’, sahabat yang terlalu giat dalam ibadah. Salman baru mengetahui hal itu saat mengunjungi kediaman Abu Darda’. Salman heran melihat kelakuan dan penampilan Ummu Darda’, istri Abu Darda’, yang murung dengan pakaian kumal tidak terawat. Salman pun bertanya kepada Ummu Darda’. “Apa yang terjadi padamu?” “Lihatlah itu saudaramu,” kata Ummu Darda’, “dia tidak lagi membutuhkan dunia. Lalu untuk apa aku perlu memperhatikan diriku di hadapannya?” Abu Darda’ adalah salah satu sahabat Nabi yang selalu berpuasa setiap hari, salat sepanjang malam, sampai keluarganya tidak pernah diperhatikan. Melihat perilaku istri Abu Darda’, Salman berkesimpulan Abu Darda’ tidak peduli dengan keluarganya sendiri dan lebih memilih untuk selalu beribadah. Tak berselang lama Abu Darda’ datang membawa makanan dan mempersilakan saudaranya ini makan. “Makanlah, aku sedang berpuasa,” kata Abu Darda’ sedikit acuh. Mendengar itu, Salman sedikit terkejut. Jika Abu Darda’ selalu berpuasa, bagaimana ia memenuhi kebutuhan lahir-batin istrinya? Akhirnya Salman pun melemparkan sedikit ancaman. “Aku tidak akan makan kecuali kamu ikut makan,” kata Salman. Karena tidak enak dengan kunjungan saudaranya, Abu Darda’ akhirnya makan dan memilih membatalkan puasanya. Hal ini terus berlangsung setiap kali Salman mengunjungi kediaman Abu Darda’. Bahkan pada suatu malam, Abu Darda’ dengan entengnya meninggalkan pertemuan dengan Salman di rumahnya. Ia beranjak sembari mengenakan pakaian untuk salat sunah. Salman yang heran melihat kelakuan saudaranya itu pun menegur. “Tidurlah Abu Darda’,” kata Salman melihat bahwa ia lebih rela ditinggal tidur daripada ditinggal salat sunah. Tentu saja teguran ini didasari setelah memerhatikan bahwa Abu Darda’ sebenarnya sudah sangat letih. Abu Darda’ pun tidur. Karena takut bahwa saudaranya akan bangun lagi dan akan melaksanakan salat lagi, Salman memilih tidak pulang. Benar saja, tidak berselang lama Abu Darda’ terbangun dan ingin melakukan salat lagi. Baru akan bangun dari tempat tidurnya, Salman langsung menegur kembali, “Tidurlah.” Abu Darda’ lalu tidur kembali. Ketika sudah sepertiga malam, Salman yang semalaman menunggu tidur Abu Darda’ pun membangunkannya. “Nah, sekarang bangunlah,” kata Salman sambil mengajak salat bersama. Ketika salat malam selesai, Salman pun menegur saudaranya ini. “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu yang harus kau tunaikan, dirimu punya hak atasmu yang harus kau tunaikan, dan keluargamu punya hak atasmu yang harus kautunaikan,” kata Salman. “Tunaikanlah hak-hak tersebut kepada setiap pemiliknya,” kata Salman mengakhiri pembicaraan malam itu dan dibenarkan Nabi Muhammad beberapa hari kemudian. Hal yang menunjukkan bahwa ibadah yang melebihi batas merupakan tindakan yang tidak diperkenankan. Karena saat menegur Mu’adz, sahabat yang suka berlama-lama dalam salat seperti kisah sebelumnya, Nabi pernah berpesan. “Permudahlah dan jangan mempersulit, kabarkanlah kegembiraan dan jangan memberitakan ancaman, bersepahamlah dan jangan berselisih.” - Humaniora Reporter Ahmad KhadafiPenulis Ahmad KhadafiEditor Zen RS
ArtikelWISNITA (Dishub) 22 Juni 2017 16:19:00 WIB. Taushiah Ramadhan Nevi Zuairina, 27 Ramadhan 1438 H. Tunaikanlah Hak Allah. Taushiah ini saya awali dengan kisah sahabat Rasulullah, Salman Alfarisi radhiyallahu 'anhu yang menasihati sahabatnya Abu Darda' radhiyallahu 'anhu. Salman radhiyallahu 'anhu berkata kepada Abu Darda' radhiyallahu
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya.”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”Keterusterangan yang di luar kiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” Lihat Lyfe Selengkapnya
Setelahkematiannya, Salaman Al-Farisi tinggal di Ammuriyah cukup lama, dan ketika ada pedagang Arab dari kabilah Kalb melewati daerah tempat tinggal Salman, ia langsung menemui rombongan mereka dan berkata kepada mereka: "Aku akan memberikan sapi-sapi dan kambing-kambingku ini kepada kalian jika kalian mau membawaku ke Bumi Arab." Salman al-Farisi merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Lelaki itu berasal dari Persia. Di negeri asalnya, ia merupakan orang merdeka. Namun, dalam perjalanan ke Jazirah Arab untuk mencari utusan Allah—sebagimana dipesankan seorang mantan gurunya—ia mengalami musibah. Sampai-sampai, dirinya sempat menjadi budak belian. Saat berjumpa dengan Rasulullah SAW, Salman langsung menyatakan keimanannya. Dengan bantuan beliau dan sejumlah Muslimin, dirinya pun dibebaskan dari status hamba sahaya. Sejak saat itu, ia tidak pernah absen dari perjuangan di jalan dakwah bersama dengan Nabi SAW. Mengikuti jejak beliau, Salman turut berhijrah ke Madinah. Di kota tersebut, Rasul SAW mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan penduduk setempat Anshar. Bagi yang belum memiliki tempat tinggal, dipersilakan menempati pelataran Masjid Nabawi yakni bagian yang disebut sebagai Suffah. Saat berjumpa dengan Rasulullah SAW, Salman langsung menyatakan keimanannya. Di Madinah, Salman sangat rajin dalam menuntut ilmu dan juga bekerja. Ia menghayati betul sabda Nabi SAW, “Tidak ada orang yang mendapatkan makanan yang lebih baik daripada hasil dari pekerjaan tangannya sendiri.” Sebagian penghasilannya ditabung untuk menghadapi hari depan. Akhirnya, Salman ingin menikah. Selama ini, hatinya diam-diam condong pada seorang wanita salehah dari kalangan Anshar. Akan tetapi, dirinya belum berani melamar Muslimah tersebut. Sebagai seorang pendatang dari luar Arab, ia merasa kurang percaya diri. Bagaimana adat melamar wanita menurut tradisi masyarakat Madinah? Ia belum bisa memastikan. Yang jelas, jangan sampai melangkah tanpa persiapan yang matang. Karena itu, Salman berinisiatif untuk meminta bantuan dari seorang Anshar, yakni Abu Darda. Begitu mengetahui maksud kedatangan Salman, Abu Darda mengucapkan hamdalah. Sosok yang bernama asli Uwaimir bin Malik al-Khazraji itu turut senang melihat seorang Muslim yang saleh hendak menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, dirinya bersedia membantu pemuda asal Persia tersebut. Selama beberapa hari, segala persiapan dilakukan. Barulah kemudian, Salman dengan ditemani Abu Darda mendatangi kediaman keluarga sang gadis yang dimaksud. Mereka diterima dengan baik oleh tuan rumah. Salman dengan ditemani Abu Darda mendatangi kediaman keluarga sang gadis yang dimaksud. Mereka diterima dengan baik oleh tuan rumah. “Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya, Salman, dari Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam. Ia pun turut dalam jihad dan beramal di sisi Rasulullah SAW. Bahkan, beliau menganggapnya sebagai anggota keluarga sendiri,” ujar Abu Darda dengan fasihnya menggunakan dialek bahasa Arab Madinah. Setelah perkenalan, ia pun menyampaikan maksud kedatangan. Tujuannya bertamu ialah mewakili Salman untuk melamar putri sang tuan rumah. Rupanya, bapak si gadis itu merasa senang sekali. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah SAW yang mulia. Kami pun senang jika memiliki menantu dari kalangan sahabat,” ujar ayah si wanita. Namun, sang tuan rumah tidak langsung memberi keputusan. Seperti yang diajarkan Rasulullah SAW, ia terlebih dahulu menanyakan pendapat putrinya tentang lamaran tersebut. “Jadi, saya serahkan keputusan pada putri kami,” ujarnya kepada kedua tamunya itu. Selama beberapa menit, ia meninggalkan Salman dan Abu Darda sejenak di ruang tamu. Dari arah kamar, kemudian datanglah sang tuan rumah dan istrinya. Adapun putri mereka berada di balik hijab. Gadis itu telah mengetahui duduk perkara kedatangan Salman dan Abu Darda. Sejurus kemudian, ibunda wanita itu berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang.” Seketika, kedua tamu itu merasa tegang menanti jawaban. Gadis itu telah mengetahui duduk perkara kedatangan Salman dan Abu Darda. Sejurus kemudian, ibunda wanita itu berkata. “Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman,” sambung si ibu. Jawaban tersebut sempat mengguncang hati Salman. Bagaimanapun, sahabat Nabi SAW itu tetap tegar. Ternyata, apa yang ingin disampaikan istri tuan rumah itu belum selesai. “Namun, lantaran kalian berdualah yang datang kepada kami, dengan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan. Putri kami akan menjawab iya apabila Abu Darda yang memiliki keinginan yang sama seperti Salman.” Perkataan itu menggetarkan lagi dada Salman. Ternyata, gadis yang ingin dilamarnya itu lebih memilih Abu Darda. Boleh jadi, sang sahabat Nabi SAW akan patah hati menghadapi situasi ini. Akan tetapi, yang ditunjukkannya adalah perasaan gembira. Kekukuhan iman membuatnya ikut senang dengan kebahagiaan yang diterima kawannya, Abu Darda. “Allahu akbar, semua mahar dan harta yang kupersiapkan hari ini akan kuserahkan kepada Abu Darda. Aku pun bersedia menjadi saksi pernikahan kalian,” katanya dengan wajah senang dan kelapangan hati. Akhirnya, disepakatilah mengenai tanggal pernikahan. Dalam perjalanan pulang, Abu Darda mengungkapkan perasaannya, “Wahai Salman, aku merasa malu padamu atas terjadinya peristiwa tadi.” “Aku lebih pantas merasa malu denganmu. Aku memang hendak melamarnya, sementara Allah telah memutuskan bahwa wanita tersebut adalah untukmu,” kata Salman. Alih-alih kecewa atau iri dengki, ia ikut merasa gembira dengan rezeki Allah SWT yang sampai pada sahabatnya. Ketegaran dan ketulusan hatinya patut menjadi uswah bagi kita semua. 175views, 7 likes, 1 loves, 0 comments, 4 shares, Facebook Watch Videos from Kajian Kebayoran: Oleh Ustadz Abdul Mu'thi Al-Maidany (Hafizhahullah) . . Kajian Kebayoran - Kisah Salman Al Farisi dan Abu Darda Radiyallahu ta'ala 'Anhum
LAZ al-Hilal – Apakah sahabat Al Hilal telah mengetahui kisah tentang Salman Al Farisi dan Abu Darda? Ya, kisah yang terjadi antara cinta dan persahabatan ini adalah kisah yang amat popular hingga saat ini. Untaian kata yang penuh hikmah dari Sahabat Rasulullah SAW “Ilmu itu luas, sedangkan umur kita pendek. Oleh karena itu, pilihlah ilmu yang sangat kamu butuh kan bagi agamamu dan tinggalkan yang lain.” yang masih popular dan penuh hikmah ini pun masih popular hingga saat ini sebagai sejarah dari seorang yang tak kenal Lelah berjalan menjemput hidayah. Sedikit sejarah bagi sahabat Al Hilal yang belum mengenal Salman Al Farisi, beliau terlahir di salah satu Desa yang ada di Persia. Salman kecil tumbuh sebagai pengikut Majusi yang menyembah api. Maklum saja ayahnya tergolong penganut Majusi yang ditokohkan. Namun fitrahnya yang lurus mengantarkan Salman pada pencarian panjang akan kebenaran. Bermula dari perpindahan satu Negeri ke Negeri lainnya ditempuh Ia tanpa Lelah. Perjalanan mencari Ilmu yang Ia tekuni tak lepas dari kehidupan-kehidupan yang lainnya, seperti asmara. Termasuk persahabatan yang terjalin di antara Salman Al Farisi dan Abu Darda yang berasal dari Anshar. Dua sahabat seia- sekata. Sampai suatu ketika Salman dihadapkan pada peristiwa yang menguji keakraban mereka. Apa itu? Saat itu dalam diam Salman memendam getar rasa pada seorang wanita dari Anshar dan Pernikahanlah yang menjadi satu-satunya jalan untuk menghalalkan rasa tersebut. Dikisahkan, Salman Al Farisi berniat untuk meminang gadis tersebut dengan dihantarkan langsung oleh sang Sahabat, Abu Darda yang berasal dari asal daerah Gadis tersebut yaitu Anshar. Tetapi apa yang didapatkannya? Berdegup jantung Salman Al-Farisi semakin cepat dalam penantian. Sampai akhirnya meluncur kata demi kata dari ibunda yang mewakili putrinya. “Maafkan kami atas keterusterangan ini. Dengan mengharap ridho Allah, saya menjawab bahwa putri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda juga memiliki maksud yang sama, maka putri kami bersedia.” Lamaran yang ia tujukan ditolak! Tetapi, kukuhnya iman yang Ia miliki mampuu membuatnya untuk berdiri tegar. Betapa luas samudra hati Salman Al- Farisi. Kegagalan tak membuat ia jatuh terpuruk berlarut-larut. Apalagi di sisinya ada sahabat sejati yang beroleh kebahagiaan. Wajah Salman kembali berbinar ikut larut dalam kegembiraan saudaranya. MasyaAllah…
KataAbu Darda: "Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah." Mereka berdua berpelukan kerana gembira dengan berita itu. Selepas itu, segala persiapan dilakukan dan mereka berdua berangkat ke rumah gadis yang ingin dipinang Salman. Tiba di rumah gadis berkenaan, berkatalah Abu Darda selaku jurubicara Salman: "Saya Abu Darda dan ini adalah
SALMAN Al Farisi adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang berasal dari Persia. Salman sengaja meninggalkan kampung halamannya untuk mencari cahaya kebenaran. Kegigihannya berbuah hidayah Allah dan pertemuan dengan Nabi Muhammad saw di kota Madinah. Beliau terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekah bersama pasukan sekutunya datang menyerbu dalam perang Khandaq. Salman Al Farisi sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mu’minah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai pacar. Tetapi sebagai sebuah pilihan untuk menambatkan cinta dan membangun rumah tangga dalam ikatan suci. Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah, pelamaran. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang telah dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’. ”Subhanallaah. . wal hamdulillaah. . ,” girang Abu Darda’ mendengarnya. Keduanya tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. ”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.,” fasih Abu Darda’ berbicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami,” ucap tuan rumah,” menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Abu Darda dan Salman menunggu dengan berdebar-debar. Hingga sang ibu muncul kembali setelah berbincang-bincang dengan puterinya. ”Maafkan kami atas keterusterangan ini,” kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.” Keterusterangan yang di luar perkiraan kedua sahabat tersebut. Mengejutkan bahwa sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya. Bayangkan sebuah perasaan campur aduk dimana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran. Ya, bagaimanapun Salman memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Namun mari kita simak apa reaksi Salman, sahabat yang mulia ini ”Allahu Akbar!” seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda,’ dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!” Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi. Ia begitu paham bahwa cinta, betapapun besarnya, kepada seorang wanita tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat paham akan arti persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ telah dipersaudarakan oleh Rasulullaah saw dengannya. Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya. “Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” [HR Bukhari] [] Sumber Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah SAW karya Khalid Muhammad KhalidDiponegoro Bandung
.
  • m0eeb91or4.pages.dev/68
  • m0eeb91or4.pages.dev/85
  • m0eeb91or4.pages.dev/198
  • m0eeb91or4.pages.dev/328
  • m0eeb91or4.pages.dev/238
  • m0eeb91or4.pages.dev/5
  • m0eeb91or4.pages.dev/440
  • m0eeb91or4.pages.dev/359
  • kisah salman al farisi dan abu darda